Tanah Labil, Longsor Ancam Kalialang

Minggu, 05 Juni 2011
KONDISI kampung Kalialang Baru RT 03 RW 07 Kelurahan Sukorejo, Gunungpati, Semarang, semakin mengkhawatirkan. Jalan paving block tak pernah bertahan lama, paling banter hanya sampai enam bulan. Selain itu beberapa kondisi rumah pun retak-retak karena kampung tersebut berada di jalur tanah labil.
Keadaan itu semakin diperparah oleh intensitas hujan yang selalu tinggi beberapa bulan terakhir ini. hampir setiap hari, warga Kalialang Baru harus selalu waspada dan berhati-hati karena sering terjadi secara tiba-tiba tanah di kampung tersebut longsor.
Yantiningsih (43), warga RT 03 RW 07 Kampung Kalialang Baru, Sukorejo, Gunungpati menceritakan, bulan Februari 2011, dapur rumahnya sampai ambrol dan retak-retak karena tanah yang berada di bawah dapur tersebut, labil atau bergerak. Terlebih lagi ketika hujan sangat deras.
“Sejak awal 2011, kami harus terus berhatihati apabila hujan turun sangat lebat karena sangat berpotensi besar, tanah di sini bakalan longsor, ambles, dan bangunan rumah pun mudah retak-retak,” jelas Yantiningsih.
Suyanto (52), warga di daerah yang sama, menambahkan, kondisi tanah di Kalialang Baru memang makin mengkhawatirkan. Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pada 2011, jalan-jalan paving block saat ini ambles hingga mencapai sekitar dua meteran. Selain itu, beberapa rumah pun sering bambrol terkena longsoran tanah labil.
“Kalau tahun 2010, kondisi jalan tidak separah ini. Walaupun berada di tanah yang labil, dahulu masih bisa diatasi, karena hujan tidak seganas tahun ini,” jelas Suyanto.
Menanggapi keluhan warga, Lurah Sukorejo, Sukidi menjelaskan, pihaknya sudah melaporkan sekitar pertengahan Maret 2011 kepada pihak kecamatan mengenai kondisi Kampung Kalialang Baru yang makin lama makin parah. (dse)

Puri Sartika Dibelit Masalah

WARGA Perumahan Taman Puri Sartika mengeluhkan minimnya perhatian Pemkot Semarang atas berbagai persoalan yang menimpa mereka. Menurut warga, mereka seperti kehilangan induk, dan tidak tahu lagi ke mana mengadukan persoalan di permukiman itu.
Sejak PT Helatoma Cipta, sebagai pengembang Taman Puri Sartika kabur pada 2001, persoalan infrastruktur di perumahan itu seperti tak ada yang mengurus. Jalan rusak, talut ambrol, atau air minum menjadi beban warga sendiri.
PT Helatoma Cipta Semarang yang berperan sebagai pihak pengembang perumahan, dianggap warga tak bertanggung jawab karena tanpa memberi kabar, pergi begitu saja dan tidak tahu keberadaannya di mana. Celakanya, hingga kini seolah-olah dibiarkan saja oleh Pemkot Semarang.
“Pemkot seperti tidak mau tahu terhadap nasib kami yang tinggal di sini (Taman Puri Sartika –Red). PT Helatoma Cipta sudah pailit atau dipailitkan pun, kami tidak tahu karena Pemkot sendiri tidak memberikan jawaban atas pengajuan pertanyaan kami,” kata Sutiyono (38), sekretaris RW12 Perum Taman Puri Sartika itu.
Sudah berkali-kali, kata dia, warga mengajukan bantuan atau sedikit perhatian kepada Pemkot Semarang, tetapi hasilnya selalu nihil. Terpaksa, warga berkali-kali pula harus merogoh kocek sendiri untuk sedikit demi sedikit memperbaiki infrastruktur di perumahan, daripada menunggu bantuan yang tidak pasti didapat.
“Jika pengajuan bantuan kami sampaikan ke tingkat kelurahan pun, selalu menjadi yang paling bontot. Itupun belum tentu terealisasikan,” kata guru SD Jetaksari 1 Sayung Demak tersebut.

Tujuh RT
Perumahan yang berpenghuni 380 KK dengan jumlah tujuh RT, harus menata wilayah sesuai dengan kemampuan warga. Jika ditarik garuis besarnya, ada empat masalah utama yang harus dihadapi warga hingga kini. Di antaranya adalah pengadaan air bersih, talut yang sering ambrol, jalan yang selalu rusak, dan tak tersedianya tanah makam.
Jalan utama ke perumahan, banyak yang berlubang sehingga para pengendara kesulitan untuk memilih jalan yang layak dilewati. Di jalan sepanjang sekitar 1,5 kilometer dari gerbang utama hingga Kalialang, terdapat sekitar 12 patahan jalan dan tak sedikit pula talut-talut yang longsor.
Warga mengakui, ketika akan menghuni perumahan tersebut, tidak mengetahui apabila di kawasan tersebut merupakan bertanah labil, mudah longsor karena sebelumnya tidak pernah dibeberkan oleh pengembang (PT Helatoma Cipta –Red).
“Karena kami keluarga baru yang butuh rumah, dapat promosi dan iming-imingan rumah murah, ya kami beli. Eh, di tengah-tengah waktu, kami sudah agak lama tinggal, baru tahu kondisi sebenarnya,” jelas Suwartini, warga Blok B93 RT 03 RW 12 Perum Taman Puri Sartika itu.
Secara umum, warga sangat prihatin melihat kondisi yang terus menerus dialami dan sangat mengharap perhatian khusus Pemkot Semarang terhadap lingkungan yang rawan. “Kami tidak tahu mengapa pihak pengembang dahulu memilih tempat ini dan bisa disetujui ataupun diizinkan oleh Pemkot,” kata Imam Soedjoko (68), warga RT 01 RW 12 itu. (dse)

Bonbin Pindah, Tinjomoyo Makin terlupakan

RATUSAN pepohonan yang tumbuh subur dan rimbun di Tinjomoyo, Kelurahan bendandhuwur, Gajahmungkur, Semarang, membuat kawasan itu memang pantas dinobatkan menjadi salah satu hutan wisata.
Terlebih lagi apabila kita menyaksikannya dari kejauhan,, Jalan Pawiyatan Luhur, akan tampak jelas hamparan luas yang menghijau. Hutan Tinjomoyo, sebuah hutan yang tetap dipertahankan oleh Pemkot Semarang terutama keasriannya sebagai ruang terbuka hijau RTH di Kota Semarang.
Namun sayang, hutan yang memiliki luas sekitar 57,5 hektar itu terkesan selalu “nyepi”. Apabila dibandingkan sebelumnya, semasa masih menjadi satu lokasi dengan Taman Margasatwa atau kebun binatang bonbin, keadaanya sangt berbeda jauh.
“Ketika sebagian wilayah asih digunakan sebagai bonbin, pengunjung selalu ada tiap harinya. Tapi ketika bonbin dipindah ke Mangkang dan di sini hanya untuk hutan kota, hampir sebagian besar tanpa pengunjung,” ungkap Kepala Bagian Administratif dan Kebersihan UPTD Hutan Wisata Tinjomoyo Semarang, Mulyono.
Mulyono menjelaskan, saat ini, apabila dirata rata hanya terjual 20 tiket per hari dengan pendapatan sekitar Rp 400 ribu per bulan. Apabila sebelumnya tahun 2007, tempat tersebut bisa menarik minat pengunjung rata-rata 100 orang dengan pendapatan rata-rata Rp 1 juta per bulan.
“Kunjungan yang paling ramai ya, sekitar 40 orang ketika Minggu. Itupun pas ada kegiatan outbond. Kalau tidak ada, ya, beginilah kondisinya, sepi,” jelas Mulyono sambil memperlihatkan kondisi pintu masuk Hutan Wisata Tinjomoyo.

Keanekaragaman Hayati
Hutan Tinjomoyo yang memiliki keanekaragaman pepohonan, seperti mahoni, jati, akasia, asem londo, ketepeng, mangga, kelengkeng, matoa, nangka, dan masih banyak lainnya, memang sengaja tidak beralih fungsi.
Hal itu dikarenakan berfungsi sebagai daerah resapan air dan pencegah banjir. “Akhir Desember 2010, kami baru saja menanam 2.200 mahoni dan 50 ketepeng. Apabila tiap tahun terus ditanami pepohonan seperti ini, kawasan Tinjomoyo semakin hijau. Dan semoga saja, member rasa nyaman pengunjung,” harap warga Ngesrep, Gombel, Semarang tersebut.
Susanto , mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Semarang menilai, makin sepinya orang yang berkunjung ke Hutan Tinjomoyo karena sudah tidak ada lagi yang menarik untuk dikunjungi sebagai wisata atau tempat rekreasi.
“Apabila dahulu ada bonbin di tempat ini, tiap akhir pekan pasti selalu tampak ramai, terutama sebagai objek wisata keluarga,” jelas pria yang mengaku hampir tiap bulan ke Hutan Tinjomoyo.
Santo, demikian dia disapa menambahkan, semestinya Pemkot Semarang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Disbudpar juga memperhatikan akses jalan menuju lokasi wisata tersebut. Selain itu, perlunya memberikan ruang di beberapa sudut seperti gazebo dan arena permainan anak.
“Apbila dilihat, kondisi jalan sepanjag sekitar satu kilometer di dalam hutan Wisata Tinjomoyo, ratarata rusak. Di samping itu, tidak ada kendaraan umum yang masuk ke sini. Maka wajarlah, apabila sepi terus,” ungkap warga Bendandhuwur tersebut. (deni setiawan)

PSK Sunan Kuning Cek Kesehatan

RABU (13/4), ratusan pekerja seks komersial (PSK) Resosialisasi Argorejo, atau lebih populer dengan sebutan Sunan Kuning (SK), mengikuti pemeriksaan rutin serta pengobatan di Balai Pertemuan Resosialisasi tersebut. pemeriksaan kesehatan itu dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, Komisi Penanggulanga AIDS (KPA) Kota Semarang, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Griya Asa, serta Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Divisi HIV AIDS.
Kegiatan yang dilakukan secara serentak dan berkala di Kota Semarang dan Kabupaten Kendal di tiap tiga bulan sekali itu, dimaksudkan untuk mencegah penyebaran penyakit HIV AIDS serta penyakit infeksi Menular Seksual (IMS) pada diri PSK dengan program Pengobatan Presumtif Berkala (PPB).
“Pemeriksaan rutin dan berkala ini, kami lakukan untuk menekan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam maupun di luar nikah bagi pengidap IMS, seperti sifilis, GO, klamidia hepatitis B,” kata Ari Istradi, koordinator LSM Griya Asa PKBI Kota Semarang.

Pencegahan HIV
Ari menambahkan, program yang bertujuan untuk melakukan pemeriksaan, pencegahan, dan pengobatan terhadap penyakit hubungan seksual itu, difokuskan sebgai upaya pencegahan terhadap virus HIV. IMS bukan penyakit yang disebabkan oleh hubungan seksual, tetapi menular melalui hubungan seksual yang tidak memakai kondom. Sehingga, pengobatan IMS terhadap PSK tidak dapat mencegah penularan HIV.
Ketua Resosialisasi Argorejo, Suwardi Eko Putranto mengatakan, sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang penekanan HIV, AIDS, dan Pengobatan Intensif Berkala, pihaknya sangat menyambut baik program berkala tersebut. pihaknya pula, berjanji akan terus menyosialisasikan program pemerintah tersebut secara giat dan berkala pula. (dse)

Musrenbang Terbuka!

PELAKSANAAN Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi Jawa Tengah 2011 yang dilaksanakan tertutup dinilai menyalahi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan publik. Pendapat ini disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul H Naja.
Menurut Abdul, undang-undang tersebut menyatakan setiap orang berhak memperoleh informasi, melihat, dan mengetahui informasi yang sedang disampaikan. Selain itu, masyarakat pun berhak menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum dan memperoleh salinan informasi yang kemudian disebarluaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Termasuk wartawan, mereka kan juga publik yang memiliki hak sama dengan yang lain. dari informasi itu, dapat diketahui oleh masyarakat secara luas. Intinya, tidak ada yang ditutup-tutupi,” kata Abdul.
Dia menambahkan, apabila melihat kondisi seperti itu, tentu akan mengundang permasalahan baru. Masyarakat atau publik akan bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi di dalam Pemprov Jateng saat ini sehingga musrenbang dilaksanakan secara tertutup.
Secara terpisah, Ketua Komisi Informasi Publik Jateng, Rahmulyo Wibowo mengatakan, dalam kasus Musrenbang Jateng, masyarakat harus membedakan pengertian tertutup itu. Apakah yang dimaksud itu dilaksanakan di ruangan tertutup atau tertutup bagi publik. “Apabila tertutup bagi publik, hal itu bertentangan dengan undang-undang karena musyawarah apapun harus terbuka,” kata Rahmulyo.
Sementara itu, menanggapi kasus laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) anggaran 2010, pengamat politik Undip Semarang, Teguh Yuwono mengatakan, terjadinya penjiplakan atau copi paste LKPJ tidak terlepas dari keteledoran Gubernur Jateng yang malas membaca laporan tersebut sebelum menyerahkannya kepada DPRD Jateng.
“Hal itu yang harus disikapi serius oleh Gubernur Jateng. Sesibuk apapun, tugas Gubernur ya harus membaca dan mengontrol,” kata Teguh. (dse)

Parkir Liar Paragon Disoal

KEBERADAAN parkir di sekitar Mal Paragon, Jalan Pemuda, Semarang, dipersoalkan DPRD. Parkir liar itu dinilai merampas trotoar, yang semestinya menjadi hak pejalan kaki.
Trotoar di sekitar Mal Paragon digunakan sebagai tempat parkir ratusan motor. Akibatnya, para pejalan kaki yang akan melewati trotoar tersebut, harus turun langkah ke tepian jalan.
Padahal, semestinya para pejalan kaki yang berhak atas fasilitas tersebut. Selain itu, paving block di trotoar tampak rusak dan berlubang karena setiap hari digunakan untuk parkir motor. Tak hanya itu, trotoar itu juga kerap digunakan sebagai lokasi berjualan.
Terkait itu, Komisi C DPRD Kota Semarang akan memanggil pengelola Mal Paragon terkait dengan masih adanya parkir liar di sekitar pusat perbelanjaan itu. Hal itu dirasa penting karena hingga kini, trotoar itu belum berfungsi sebagaimana mestinya dan belum sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan DPRD, 2 Mei 2010 lalu.
“Dalam waktu dekat, kami berencana akan memanggil ulang pihak pengelola Mal Paragon tentang msih adanya parkir liar, khususnya motor di sana dan apabila tetap tidak dijalankan, satu-satunya jalan terakhir, ya, meminta penghentian sementara operasional Mal Paragon,” kata Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang, Zulkarnaini.
Berdasarkan isi rekomendasi yang telah disepakati itu, kata dia, DPRD meminta pengelola Mal Paragon untuk melakukan penertiban parkir sesuai dengan analisis dampak lingkungan hidup Amdal,yakni di bagian basement gedung. Namun, hingga kini pengelola Mal Paragon belum menjalankan Amdal itu.

Penertiban
Selain itu, DPRD juga meminta seluruh SKPD terkait, terutama Satpol PP untuk turun tangan menertibkan parkir di depan Mal Paragon dan meminta pihak pengelola mal mengganti pohon yang telah ditebang sesuai dengan Perda. Untuk setiap pohon yang ditebang, pengelola wajib mengganti dengan pohon dengan masa pemeliharaan dua tahun.
“Ketika itu, Handoyo, Manajer Operasional Mal Paragon yang memenuhi panggilan kami, mengatakan siap melaksanakan seluruh rekomendasi yang dikeluarkan demi kepentingan umum,” kata Zularnaini.
Namun pada kenyataannya, kata dia kondisi tersebut masih sama sebelum kami melakukan pemanggilan. “Apabila ada perubahan dan menjalankan rekomendasi yang telah disepakati, kondisi parkir liar tidak mungkin akan terlihat saat ini dan seterusnya,” jelas anggota DPRD dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Selain itu, pihaknya juga akan meminta pertanggungjawaban Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi (Dishubkominfo) Kota Semarang. Termasuk juga akan mengadakan evaluasi bersama dengan Satpol PP, Dinas Pertanaman, dan Badan Lingkungan Hidup (BLH), terkait persoalan tersebut.
Terpisah, pengamat transportasi dari Unika Soejipranoto, Djoko Setijowarno menyatakan, menyayangkan masih ditemukannya penggunaan trotoar di depan Mal Paragon tersebut. Untuk lahan parkir motor, bahkan semakin hari semakin tidak terkendali.
“Pemkot Semarang semestinya menegakkan aturan yang sudah tertian di UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan LLAJ. Di UU itu, sangat jelas aturannya, trotoar adalah fasilitas untuk pejalan kaki, bukan untuk parkir atau pun tempat berjualan,” jelas Djoko. (dse)

Mengenang Pramoedya dari Rumah di Pojok Jalan

Jumat, 20 Mei 2011
RUMAH itu terlihat biasa saja, tak jauh beda dari bangunan di sekitarnya. Sama sekali tidak lebih mewah. Bahkan, cenderung lebih jadul dengan kondisi bangunan yang mulai condong ke sisi kiri lantaran dimakan usia.
Tapi kalau disebut siapa-siapa yang pernah lahir, dalam pengertian sebenar-benarnya, pasti Anda akan ngeh perihal keistimewaan rumah itu. Sebab, di rumah itulah Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia dilahirkan.
Rumah di Jalan Sumbawa Nomor 40, Jetis, Kabupaten Blora itu, memang rumah keluarga Pram, begitu penulis tetralogi Bumi Manusia acapkali disebut. Sekarang, rumah lawas itu digunakan untuk Perpustakaan Pataba, sekaligus ruang publik untuk berbagai aktivitas budaya.
“Semula, Pataba merupakan kependekan Pramoedya Ananta Toer Anak Blora Asli. Tapi kemudian saya pikir, mana ada yang sebenar-benar asli. Lalu, kepanjangannya menjadi Pramoedya Anak Semua Bangsa,”tutur Soesilo Toer, adik kandung Pram yang saat ini mengelola rumah “pusaka” sekaligus Perpustakaan Pataba tersebut.
Sore itu, Senin (16/5), Perpustakaan Pataba bersama Komunitas Pasang Surut Blora menggelar Srawung Srana Seni #1. Perhelatan itu merupakan wujud upaya menggalang komunikasi dan jejaring antar komunitas.
“Ngiras-ngirus memperingati lima tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer,” kata Eko Arifianto, komandan Komunitas Pasang Surut.
Sekadar informasi, Pram meninggal 30 April 2006, atau sekitar lima tahun silam. Sastrawan yang pernah ditahan di Pulau Buru tersebut tutup usia setelah berjuang melawan komplikasi penyakit paru-paruu, ginjal, gula, dan jantung. Selanjutnya, penulis Panggil Aku Kartini Saja tersebut dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta.
Kembali ke rumah Pram, malam itu, sejumlah pegiat seni dari sejumlah kota hadir. Tiga orang pegiat seni Semarang didapuk sebagai “bintang tamu”. Mereka adalah Achiar M Permana (Sentong Seni Sorartjeh), Widyo “Babahe” Leksono (Komunitas Payung Kertas), dan Gunawan Budi Susanto (Komunitas Gubugunung).
Pada kesempatan itu, Achiar membacakan sejumlah puisis karyanya, Babahe mendaras geguritan yang direkamnya, dan Gunawan membacakan dua cerpen yang berkisah tentang para korban 1965. Menariknya, mereka mengajak juga beberapa siswa yang hadir untuk berkolaborasi.
“Hadir di rumah Pram, bagi saya sama dengan membayar utang, sekaligus kesempatan untuk ngangsu kawruh untuk banyak hal,” kata Gunawan.
Selain mereka, sejumlah pegiat seni dari Blora, Cepu, Bojonegoro, bahkan Juwana (Pati) hadir di rumah pojok jalan itu. “Acara ini memang dadakan, pemberitahuan kepada kawan-kawan pun seperlunya. Tapi, ternyata mereka cukup antusias untuk hadir,” kata Eko.
Dan yang lebih penting lagi, semoga rumah tersebut tetap menjadi ruang publik untuk semua orang yang ingin mengenal lebih dekat Pram termasuk perjalanannya silam, meskipun telah laku terjual oleh siapapun. (deni setiawan)