Budidaya Kepiting Soka Bangkrut

Senin, 14 Februari 2011
PEMBUDIDAYAAN kepiting soka (soft shell) di Tugu, Semarang, bangkrut. Usaha itu hanya bertahan setahun karena tambak pembudidayaan sering kebanjiran. Padahal, usaha itu digadang-gadang menjadi salah satu sumber pendapatan petani tambak.
Di Kelurahan Mangunharjo, Tugu, para pembudidaya kepiting yang tergabung dalam Kelompok Tani Sumber Rejeki Makmur itu, tidak mampu mempertahankan usahanya karena kian merugi.
Hal itu diakibatkan seringnya luapan air bercampur lumpur dari Kali Beringin ke tambak pembudidayaan di RT 01 RW 01 Kelurahan Mangunharjo itu. Terlebih lagi saat intensitas hujan di hulu Kali Beringin tinggi.
"Daripada rugi terus, lebih baik kami tidak lanjutkan usaha tersebut," kata Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki Makmur, Abdul Aziz (43).
Selainkarena banjir, kebangkrutan usaha pembudidayaan kepiting lemburi (nama lain kepiting soka) juga dikarenakan kerumitan perawatan. Aziz mengungkapkan, budi daya kepiting soka relatif memerlukan ketelitian dan kesabaran dalam perawatannya.
"Kepiting soka itu terbilang rewel. Mutu air harus jernih, setiap hari setelah pukul 00.00, dikontrol per 15 menit," tuturnya.
Hewan yang dapat dimakan seluruh bagian tubuhnya itu, ketika masa panen tiba, harus segera dibungkus plastik, lalu dimasukkan ke dalam lemari es.
"Apabila tidak, dalam 10 menit kemudian akan kembali jadi kepiting biasa, bukan lemburi lagi," tambah Rohaini (26), yang pernah menjadi pengontrol tambak kepiting seluas 500 meter itu.
Sebenarnya, menurut Aziz, nilai jual kepiting bercangkang lunak itu, tinggi, mencapai Rp 70.000 per kilogram dan berisi empat ekor. Sementara kepiting biasa hanya Rp 40.000 per kilogram. "Hanya dengan modal Rp 5 juta, dalam lima bulan pertama kami bisa untung Rp 7 juta."
Dia menambahkan, kalau ditekuni sebenarnya proses pembudidayaan kepiting soka tidak terlampau sulit. Cukup menyiapkan petak bambu ukuran 2x3 meter isi 50 ekor, membeli kepiting bakau (Scylla serrata) seharga Rp 16.000/kg dari pengepul. Pada tubuh kepiting itu disisakan dua capit belakang dan sisanya dipotong, dimasukkan ke dalam petak, lalu setelah 15 hari akan mengalami proses ganti kulit, dan panen.
Tetapi karena kondisi air jelek, sering banjir, usaha itu tidak memberi hasil maksimal. Hampir setiap bulan petani rugi hingga Rp 2 juta. "Yang minta sangat banyak, tapi kami tak bisa memenuhi karena hasil panen sedikit," katanya.
Melihat kondisi itu, para petani terpaksa meninggalkan usaha yang prospektif tersebut. "Di sisi lain, kami melihat, pemerintah masih kurang memberikan perhatian dalam bentuk pembinaan atas usaha ini," tambahnya. Deni Setiawan

0 komentar:

Posting Komentar