RUMAH itu terlihat biasa saja, tak jauh beda dari bangunan di sekitarnya. Sama sekali tidak lebih mewah. Bahkan, cenderung lebih jadul dengan kondisi bangunan yang mulai condong ke sisi kiri lantaran dimakan usia.
Tapi kalau disebut siapa-siapa yang pernah lahir, dalam pengertian sebenar-benarnya, pasti Anda akan ngeh perihal keistimewaan rumah itu. Sebab, di rumah itulah Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia dilahirkan.
Rumah di Jalan Sumbawa Nomor 40, Jetis, Kabupaten Blora itu, memang rumah keluarga Pram, begitu penulis tetralogi Bumi Manusia acapkali disebut. Sekarang, rumah lawas itu digunakan untuk Perpustakaan Pataba, sekaligus ruang publik untuk berbagai aktivitas budaya.
“Semula, Pataba merupakan kependekan Pramoedya Ananta Toer Anak Blora Asli. Tapi kemudian saya pikir, mana ada yang sebenar-benar asli. Lalu, kepanjangannya menjadi Pramoedya Anak Semua Bangsa,”tutur Soesilo Toer, adik kandung Pram yang saat ini mengelola rumah “pusaka” sekaligus Perpustakaan Pataba tersebut.
Sore itu, Senin (16/5), Perpustakaan Pataba bersama Komunitas Pasang Surut Blora menggelar Srawung Srana Seni #1. Perhelatan itu merupakan wujud upaya menggalang komunikasi dan jejaring antar komunitas.
“Ngiras-ngirus memperingati lima tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer,” kata Eko Arifianto, komandan Komunitas Pasang Surut.
Sekadar informasi, Pram meninggal 30 April 2006, atau sekitar lima tahun silam. Sastrawan yang pernah ditahan di Pulau Buru tersebut tutup usia setelah berjuang melawan komplikasi penyakit paru-paruu, ginjal, gula, dan jantung. Selanjutnya, penulis Panggil Aku Kartini Saja tersebut dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta.
Kembali ke rumah Pram, malam itu, sejumlah pegiat seni dari sejumlah kota hadir. Tiga orang pegiat seni Semarang didapuk sebagai “bintang tamu”. Mereka adalah Achiar M Permana (Sentong Seni Sorartjeh), Widyo “Babahe” Leksono (Komunitas Payung Kertas), dan Gunawan Budi Susanto (Komunitas Gubugunung).
Pada kesempatan itu, Achiar membacakan sejumlah puisis karyanya, Babahe mendaras geguritan yang direkamnya, dan Gunawan membacakan dua cerpen yang berkisah tentang para korban 1965. Menariknya, mereka mengajak juga beberapa siswa yang hadir untuk berkolaborasi.
“Hadir di rumah Pram, bagi saya sama dengan membayar utang, sekaligus kesempatan untuk ngangsu kawruh untuk banyak hal,” kata Gunawan.
Selain mereka, sejumlah pegiat seni dari Blora, Cepu, Bojonegoro, bahkan Juwana (Pati) hadir di rumah pojok jalan itu. “Acara ini memang dadakan, pemberitahuan kepada kawan-kawan pun seperlunya. Tapi, ternyata mereka cukup antusias untuk hadir,” kata Eko.
Dan yang lebih penting lagi, semoga rumah tersebut tetap menjadi ruang publik untuk semua orang yang ingin mengenal lebih dekat Pram termasuk perjalanannya silam, meskipun telah laku terjual oleh siapapun. (deni setiawan)
Lahir di Sarolangun, 14 Desember 1985 -- TK Bunga Tandjung Sidareja, Kabupaten Cilacap -- SD Negeri Gunungsimping 03 Cilacap -- SMP Negeri 4 Cilacap -- SMA Negeri 1 Sidareja, Kabupaten Cilacap -- Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang --
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Khansa Zahra Najwalni
dialah anak kami

Jepret

bersama Putu Wijaya
bersama Christian Sugiono
Database Deni
-
WARGA Perumahan Taman Puri Sartika mengeluhkan minimnya perhatian Pemkot Semarang atas berbagai persoalan yang menimpa mereka. Menurut warga...
-
PERNAH dengar sebutan ayam ketawa? Tak perlu jauh-jauh ke Sidrap, Sulawesi selatan, untuk melihat ayam unik tersebut. Di Semarang, ayam yan...
-
KONDISI Terminal Penggaron saat ini ibarat “mati suri”. Bis-bis memang masih mau masuk, tapi nyaris hanya numpang lewat, membayar retribusi,...
-
TAMAN Menteri Supeno menjadi sangat sibuk pada siang hari. Taman yang biasanya sepi itu dipadati pengunjung berbagai stan, yang menjual anek...
-
DATANG dan melihat, Gunungpati, menghadirkan rasa nyess . Bayangkan, kalau ada lahan seluas empat hektar, yang ditanami cabe dengan buah-bu...
-
RABU (13/4), ratusan pekerja seks komersial (PSK) Resosialisasi Argorejo, atau lebih populer dengan sebutan Sunan Kuning (SK), mengikuti pem...
-
DERETAN pohon karet yang berbaris rapi nan hijau di sisi kanan-kiri jalan, disertai dengan kicauan burung di pagi hari, seakan-akan menjadi...
-
PEMBUDIDAYAAN kepiting soka ( soft shell ) di Tugu, Semarang, bangkrut. Usaha itu hanya bertahan setahun karena tambak pembudidayaan sering ...
-
KAMPUS SMP 5 Semarang, Kagok, seperti menjelma lokasi syuting kejar tayang. Di hampir setiap sudut sekolah, terdapat sekumpulan orang yang t...
-
PERSATUAN Pedagang dan Jasa Pasar (PPJP) Karimata, Semarang mempertanyakan kinerja Pemkot Semarang soal penertiban para pedagang kaki lima ...
0 komentar:
Posting Komentar