Mengenang Pramoedya dari Rumah di Pojok Jalan

Jumat, 20 Mei 2011
RUMAH itu terlihat biasa saja, tak jauh beda dari bangunan di sekitarnya. Sama sekali tidak lebih mewah. Bahkan, cenderung lebih jadul dengan kondisi bangunan yang mulai condong ke sisi kiri lantaran dimakan usia.
Tapi kalau disebut siapa-siapa yang pernah lahir, dalam pengertian sebenar-benarnya, pasti Anda akan ngeh perihal keistimewaan rumah itu. Sebab, di rumah itulah Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia dilahirkan.
Rumah di Jalan Sumbawa Nomor 40, Jetis, Kabupaten Blora itu, memang rumah keluarga Pram, begitu penulis tetralogi Bumi Manusia acapkali disebut. Sekarang, rumah lawas itu digunakan untuk Perpustakaan Pataba, sekaligus ruang publik untuk berbagai aktivitas budaya.
“Semula, Pataba merupakan kependekan Pramoedya Ananta Toer Anak Blora Asli. Tapi kemudian saya pikir, mana ada yang sebenar-benar asli. Lalu, kepanjangannya menjadi Pramoedya Anak Semua Bangsa,”tutur Soesilo Toer, adik kandung Pram yang saat ini mengelola rumah “pusaka” sekaligus Perpustakaan Pataba tersebut.
Sore itu, Senin (16/5), Perpustakaan Pataba bersama Komunitas Pasang Surut Blora menggelar Srawung Srana Seni #1. Perhelatan itu merupakan wujud upaya menggalang komunikasi dan jejaring antar komunitas.
“Ngiras-ngirus memperingati lima tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer,” kata Eko Arifianto, komandan Komunitas Pasang Surut.
Sekadar informasi, Pram meninggal 30 April 2006, atau sekitar lima tahun silam. Sastrawan yang pernah ditahan di Pulau Buru tersebut tutup usia setelah berjuang melawan komplikasi penyakit paru-paruu, ginjal, gula, dan jantung. Selanjutnya, penulis Panggil Aku Kartini Saja tersebut dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta.
Kembali ke rumah Pram, malam itu, sejumlah pegiat seni dari sejumlah kota hadir. Tiga orang pegiat seni Semarang didapuk sebagai “bintang tamu”. Mereka adalah Achiar M Permana (Sentong Seni Sorartjeh), Widyo “Babahe” Leksono (Komunitas Payung Kertas), dan Gunawan Budi Susanto (Komunitas Gubugunung).
Pada kesempatan itu, Achiar membacakan sejumlah puisis karyanya, Babahe mendaras geguritan yang direkamnya, dan Gunawan membacakan dua cerpen yang berkisah tentang para korban 1965. Menariknya, mereka mengajak juga beberapa siswa yang hadir untuk berkolaborasi.
“Hadir di rumah Pram, bagi saya sama dengan membayar utang, sekaligus kesempatan untuk ngangsu kawruh untuk banyak hal,” kata Gunawan.
Selain mereka, sejumlah pegiat seni dari Blora, Cepu, Bojonegoro, bahkan Juwana (Pati) hadir di rumah pojok jalan itu. “Acara ini memang dadakan, pemberitahuan kepada kawan-kawan pun seperlunya. Tapi, ternyata mereka cukup antusias untuk hadir,” kata Eko.
Dan yang lebih penting lagi, semoga rumah tersebut tetap menjadi ruang publik untuk semua orang yang ingin mengenal lebih dekat Pram termasuk perjalanannya silam, meskipun telah laku terjual oleh siapapun. (deni setiawan)

0 komentar:

Posting Komentar