APA yang akan Anda lakukan apabila sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat, di bus tiba-tiba bertemu dengan para pengamen? Lalu pengamen itu menyanyikan beberapa lagu. Pura-pura tidurkah? Member uang recehan karena takut terjadi sesuatu atau justru sangat terhibur?
Tak hanya di situ, di tempat-tempat umum pun, Anda akan sering bertemu dengan para pengamen. Jenis musik yang didendangkan pun beragam. Bisa dangdut, pop, keroncong, tembang kenangan, atau bahkan tak jelas jenis lagunya yang akan dibawakan oleh perorangan maupun kelompok.
Tapi, tak perlu khawatir dengan kelompok pengamen Semarang yang satu ini. terutama hal-hal yang ditakuti oleh kebanyakan masyarakat. Kelompok pengamen yang satu ini dibentuk sebagai penyejuk. Sesuai nama yang mereka usung. Kipas: Kiprah Pengamen Semarang. Sebuah komunitas pengamen yang hadir dengan harapan dapat menjadi penyejuk bukan pengganggu masyarakat.
“Kelompok pengamen ini, tiap akan beraksi akan “permisi” kepada para pengunjung di warung-warung, di jalanan, bahkan di dalam bus. Selain itu, yang menjadi ciri khas Kipas adalah selalu memakai pakaian rompi hitam bertuliskan polisi (warna kuning) dan kipas (warna merah) di belakang.
Komunitas yang terbentuk pada 7 Oktober 2000 melalui Sidang Umum Pengamen Semarang ini, ingin pula mengubah citra pengamen yang selama ini buruk. Salah satu wujud konkret usaha tersebut adalah dengan melarang mengamen di perempatan jalan, masuk ke dalam warung tanpa minta izin terlebih dahulu, dan selalu dalam kondisi sadar.
“Pengamen itu ada tiga jenis. Benar-benar pengamen, sebagai modus, dan sekadar iseng,” jelas Marco Manardi, Koordinator Kipas. “untuk itu, kami ingin mewadahi dan melindungi para pengamen yang benar-benar mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari hanya dengan mengamen.”
Proses Magang
Marco yang juga Ketua Dewan Kesenian Semarang (Dekase) menjelaskan, tak sembarang pengamen yang dapat bergabung dengan Kipas. Harus lolos dalam beberapa tahapan.
“Di antaranya, sebelum memperoleh kartu tanda anggota (KTA), pengamen tersebut harus magang di suatu titik yang telah ditentukan,” katanya.
Di tempat tersebut, pengamen magang itu, akan diawasi oleh ketua unit. Setelah lolos magang, baru KTA tersebut diserahkan dan resmi menjadi anggota. Anggota Kipas hingga 2010 sudah mencapai sekitar 400 pengamen yang tersebuar di lima unit, yakni Simpanglima, Krapyak, Banyumanik, Sampangan, dan Sunan Kuning.
“Selain itu, usia anggota komunitas ini pun diwajibkan di atas 17 tahun,” imbuh Marco.
Didik (49), anggota Kipas di unit Simpanglima mengatakan, setiap akan mengamen, dia harus mengetahui dahulu karakteristik orang yang akan “diganggu”, apakah akan terusik ketika mengamen atau tidak. Selain itu, para pengamen pun harus paham betul dengan tanda-tanda yang diberikan orang.
“Biasanya, mereka akan mengucapkan maat (tidak memberikan uang –Red) dengan memberikan tanda melalui tangan,” imbuh pria yang sudah berprofesi sebagai pengamen selama 15 tahun.
Dia bersama Mulyadi (30), selalu membawakan tembang kenangan. Melalui tembang andalan seperti “Gitar Tua” (Rhoma Irama) dan “Kucari Jalan Terbaik” (Yuni Shara”, rata-rata per orang membawa pulang hasil mengamen Rp 25.000 per hari.
Komunitas yang kerap kali diundang Pemkot Semarang untuk mengisi acara hiburan dan mengikuti kompetisi musik di beberapa kota ini, setiap satu bulan berkumpul di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang untuk sekadar berdiskusi, evaluasi, maupun merancang agenda kegiatan bersama.
Marco berharap, masyarakat tidak hanya melihat sisi buruk seorang pengamen. Setidaknya menerima kehadiran mereka di lingkungan secara wajar. “Pengamen adalah pekerja seni di tingkat bawah. Mereka mengamen untuk hidup dengan cara yang baik. Maka, terimalah mereka,” tambahnya. (deni setiawan)
Lahir di Sarolangun, 14 Desember 1985 -- TK Bunga Tandjung Sidareja, Kabupaten Cilacap -- SD Negeri Gunungsimping 03 Cilacap -- SMP Negeri 4 Cilacap -- SMA Negeri 1 Sidareja, Kabupaten Cilacap -- Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang --
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Khansa Zahra Najwalni
Jepret
Database Deni
-
WARGA Perumahan Taman Puri Sartika mengeluhkan minimnya perhatian Pemkot Semarang atas berbagai persoalan yang menimpa mereka. Menurut warga...
-
PERNAH dengar sebutan ayam ketawa? Tak perlu jauh-jauh ke Sidrap, Sulawesi selatan, untuk melihat ayam unik tersebut. Di Semarang, ayam yan...
-
KONDISI Terminal Penggaron saat ini ibarat “mati suri”. Bis-bis memang masih mau masuk, tapi nyaris hanya numpang lewat, membayar retribusi,...
-
TAMAN Menteri Supeno menjadi sangat sibuk pada siang hari. Taman yang biasanya sepi itu dipadati pengunjung berbagai stan, yang menjual anek...
-
DATANG dan melihat, Gunungpati, menghadirkan rasa nyess . Bayangkan, kalau ada lahan seluas empat hektar, yang ditanami cabe dengan buah-bu...
-
RABU (13/4), ratusan pekerja seks komersial (PSK) Resosialisasi Argorejo, atau lebih populer dengan sebutan Sunan Kuning (SK), mengikuti pem...
-
DERETAN pohon karet yang berbaris rapi nan hijau di sisi kanan-kiri jalan, disertai dengan kicauan burung di pagi hari, seakan-akan menjadi...
-
PEMBUDIDAYAAN kepiting soka ( soft shell ) di Tugu, Semarang, bangkrut. Usaha itu hanya bertahan setahun karena tambak pembudidayaan sering ...
-
KAMPUS SMP 5 Semarang, Kagok, seperti menjelma lokasi syuting kejar tayang. Di hampir setiap sudut sekolah, terdapat sekumpulan orang yang t...
-
PERSATUAN Pedagang dan Jasa Pasar (PPJP) Karimata, Semarang mempertanyakan kinerja Pemkot Semarang soal penertiban para pedagang kaki lima ...
0 komentar:
Posting Komentar