Lawangsewu Didesain Sebagai “Living Museum”

Minggu, 06 Maret 2011

GEDUNG Lawangsewu yang saat ini dikelola PT Kereta Api (PT KA) masih dalam proses pemugaran. Pemugaran yang menggunakan dana investasi PT KA sebesar Rp 3,9 miliar dan secara bertahap tersebut, selain sebagai living museum dengan ruang usaha komersial.
Kepala Pusat Pelestarian Benda, Bangunan, dan Kawasan PT KA, Ella Ubaidi mengatakan, pemugaran tahap pertama (Gedung A) ditargetkan selesai sebelum peringatan Hari Kereta Api Indonesia, pada 28 September 2011. Pemugaran pada tahap itu, tambahnya, menitikberatkan dalam hal perbaikan dan perawatan Gedung A dan Gedung C.
“Setelah itu, baru mengerjakan lanskap dan pemugaran Gedung B dan bagian-bagian yang lainnya,” katanya.
Lawangsewu dirancang oleh arsitek Belanda, Jacob K Klinkhamer dan BJ Oendaag, dan dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda pada 1904-1907. Gedung dengan gaya arsitektur campuran Romawi Baru dan art nouveau itu, sebelumnya digunakan sebagai kantor pusat Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sebuah perusahaan kereta api pertama pada masa itu.
Setelah kemerdekaan RI, bangunan itu juga pernah digunakan sebagai Kantor Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), kemudian Kantor Badan Prasarana Kodam IV/Diponegoro, serta Kantor Wilayah Departemen Perhubungan Jawa Tengah.
Besarnya nilai sejarah Lawangsewu, sesuai dengan SK Wali Kota Semarang Nomor 650/50/1992 tentang 102 Bangunan Kuno atau Bersejarah di Kota Semarang dan SK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Nomor 430/27467 tanggal 2 Desember 2003, menjadikan gedung tersebut harus dilestarikan, dilindungi, dan dikelola oleh PT KA sebagai bangunan cagar budaya Indonesia.
Ella mengharapkan, setelah selesai pemugaran, bangunan tersebut dapat menghidupkan lingkungan sekitar, serta menjadi media perekat kerja sama dengan perusahaan industri kerajinan nusantara dan nasional di berbagai sektor. “Selain itu, semoga living museum ini dapat mendatangkan manfaat lebih luas bagi siapa pun dan pada saatnya mampu PT KA mampu membiayai sendiri pemeliharaan maupun pelestarian bangunan cagar budaya ini,” tambahnya.
Gedung A yang sedang dipugar, tambahnya, selain untuk objek wisata, juga akan disewakan untuk kegiatan sentral industri kerajinan, ekshibisi (pameran berkala), pergelaran seni, pesta taman, dan pertemuan. Gedung C akan disewakan sebagai rumah makan (restoran). Lalu ruang perkantoran PT KAI di Gedung B.
“Kisaran biaya sewa antara Rp 150.000-Rp 250.000 per meter per bulan. Untuk sosialisasi pemanfaatan gedung ini, kami sedang berkoordinasi dengan dewan kesenian di tiap daerah,” jelasnya.
Untuk melengkapi fasilitas umum, gedung yang memiliki luas sekitar 2,5 hektar ini juga sedang memperbaiki sekaligus menambah ruang toilet sejumlah 46 ruang di tiga titik. “Hingga saat ini, toilet yang siap baru 12 ruang, yang lainnya masih dalam proses,” tambahnya.
Tetapi perlu diperhatikan, tambahnya, ini adalah sekadar upaya pemanfaatan gedung cagar budaya. Tidak mengedepankan untung maupun rugi karena memang tidak pernah ada target pangsa pasar. “harapan kami, begitu ada wisatawan, mereka langsung menuju ke Lawangsewu dan akan memperoleh kenang-kenangan yang baik ketika pulang,” harap Ella. (deni setiawan)

0 komentar:

Posting Komentar