KALIMAT itu terpampang jelas di sebuah tembok sebelah kiri rumah di jalan Meranti Timur Dalam I, Nomor 346, Perumnas Banyumanik, Semarang.
"Saya tidak akan pernah berhenti mengajak bangsaku untuk gemar membaca, agar menjadi bangsa yang cerdas, supaya kelak dapat menyelesaikan persoalan bangsa."
Tulisan itu menjadi tekad nyata Parmanto (61), si empunya rumah untuk menumbuhkan dan mengembangkan minat baca pada generasi muda, yang belakangan dianggapnya, telah jauh berkurang. "Sebagai wagra negara Indonesia, saya memiliki kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa. Semua akan saya korbankan untuk mereka, termasuk dana pensiunan saya," tegas Parmanto.
Dia merasa prihatin terhadap situasi maupun kondisi anak-anak yang kesulitan membeli buku karena mahal, kurangnya taman bacaan, serta semakin mudahnya teknologi permainan anak yang masuk ke Indonesia.
Oleh karena itulah, pada 9 Desember 2005, dia bertekad untuk merintis sebuah tempat berkumpulnya para anak-anak untuk membaca buku bacaan. "Saya mengorbankan satu rumah, khusus untuk tempat mereka membaca," kata mantan Kepala Seksi Sejarah dan Nilai-nilai Purbakala, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, tersebut.
Rumah dengan luas 12x7 meter itu, dia sulap menjadi Taman Bacaan Masyarakat "Mortir" Parmanto SH MHum dan hingga kini sudah memiliki koleksi sekitar 9.000 buku dengan berbagai jenis.
Buku-buku tersebut didapatkannya dari sumbangan teman-teman kenalannya, buku pribadi, dan buku dari Dinas Pendidikan Jawa Tengah tiap tahunnya.
"Buku untuk orang hamil, cara membuat roti, teknik memasak, dan buku-buku umum lainnya pun ada," tambah pria lulusan Untag dan Undip itu.
Dibantu oleh satu karyawan di bagian inventarisasi, Parmanto tidak menutup mata terhadap minat baca yang sangat kurang. Oleh karena itu, untuk mempertahankan rumah bacaan tersebut, dia berusaha menyosialisasikan ke sekolah-sekolah yang ada di sekitar rumahnya.
Taman bacaan yang buka mulai pukul 10.00-15.00 itu, selalu menampung permintaan para pengunjung terkait jenis pengadaan buku dan dari request tersebut, dia langsung berusaha untuk membeli buku-buku tersebut dengan dana pensiunan yang diterimanya tiap bulan.
Peraih Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional RI 2010 itu, saat ini sangat berharap kepada masyarakat, lembaga-lembaga perguruan tinggi, dan instansi pemerintahan untuk berkenan membantu pekerjaannya di taman baca yang dikelolanya.
Dia sudah merasa kewalahan atau kerepotan untuk mengurus semua pekerjaan sosial kemasyarakatan tersebut, sehingga kondisi buku-buku kurang tertata rapi. "Sungguh eman-eman kalau taman bacaan yang dirintis dengan susah payah, tak bisa berkembang esoknya," tuturnya. Deni Setiawan
Lahir di Sarolangun, 14 Desember 1985 -- TK Bunga Tandjung Sidareja, Kabupaten Cilacap -- SD Negeri Gunungsimping 03 Cilacap -- SMP Negeri 4 Cilacap -- SMA Negeri 1 Sidareja, Kabupaten Cilacap -- Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang --
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Khansa Zahra Najwalni
Jepret
Database Deni
-
WARGA Perumahan Taman Puri Sartika mengeluhkan minimnya perhatian Pemkot Semarang atas berbagai persoalan yang menimpa mereka. Menurut warga...
-
PERNAH dengar sebutan ayam ketawa? Tak perlu jauh-jauh ke Sidrap, Sulawesi selatan, untuk melihat ayam unik tersebut. Di Semarang, ayam yan...
-
KONDISI Terminal Penggaron saat ini ibarat “mati suri”. Bis-bis memang masih mau masuk, tapi nyaris hanya numpang lewat, membayar retribusi,...
-
TAMAN Menteri Supeno menjadi sangat sibuk pada siang hari. Taman yang biasanya sepi itu dipadati pengunjung berbagai stan, yang menjual anek...
-
DATANG dan melihat, Gunungpati, menghadirkan rasa nyess . Bayangkan, kalau ada lahan seluas empat hektar, yang ditanami cabe dengan buah-bu...
-
RABU (13/4), ratusan pekerja seks komersial (PSK) Resosialisasi Argorejo, atau lebih populer dengan sebutan Sunan Kuning (SK), mengikuti pem...
-
DERETAN pohon karet yang berbaris rapi nan hijau di sisi kanan-kiri jalan, disertai dengan kicauan burung di pagi hari, seakan-akan menjadi...
-
PEMBUDIDAYAAN kepiting soka ( soft shell ) di Tugu, Semarang, bangkrut. Usaha itu hanya bertahan setahun karena tambak pembudidayaan sering ...
-
KAMPUS SMP 5 Semarang, Kagok, seperti menjelma lokasi syuting kejar tayang. Di hampir setiap sudut sekolah, terdapat sekumpulan orang yang t...
-
PERSATUAN Pedagang dan Jasa Pasar (PPJP) Karimata, Semarang mempertanyakan kinerja Pemkot Semarang soal penertiban para pedagang kaki lima ...
0 komentar:
Posting Komentar