Buku Jadi Terapi Kerinduan Habibie

Minggu, 03 April 2011
SEKEJAP, toko buku Gramedia yang terletak satu gedung dengan Hotel Amaris di Jalan Pemuda 138, Semarang, jadi penuh sesak oleh pengunjung yang ngantre membeli buku Habibie & Ainun karya terbaru presiden ke-3 Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie.
Kehadiran BJ Habibie di toko buku tersebut menjadi daya tariknya. Bagi penggemar buku, memiliki buku yang ditandatangi penulisnya langsung merupakan kebanggaan tersendiri. Apalagi, sang penulis adalah mantan presiden RI yang juga ahli pesawat terbang.
Ratusan pengunjung berjubel untuk memperoleh tanda tangan BJ Habibie di lembar awal buku setebal 335 halaman itu. Mereka juga menjabat tangan Habibie atau mengajaknya foto bersama. Dengan sabar, Habibie meladeni semuanya.
Habibie hadir di toko buku Gramedia Pemuda didampingi Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rutriningsih. Sehari sebelumnya, Habibie juga menemui penggemarnya di toko buku Gunung Agung Paragon Mal, Jalan Pemuda Semarang.
Buku yang diluncurkan pada 30 November 2010 di Jakarta itu berisi kisah dan ungkapan rasa cinta sang profesor kepada istrinya, Hj Hasri Ainun Habibie binti R Mohamad Bestari yang wafat pada 23 Mei 2010.
Habibie mengaku, buku tersebut menjadi terapi baginya untuk mengobati kerinduan. Menurutnya, ketika Ainun berpulang, ia merasa tiba-tiba ada yang hilang. Bagaimanapun, Ainun telah menemani dan mendampinginya selama 48 tahun 10 hari, baik dalam berbagi derita maupun bahagia. “Walaupun sudah ikhlas, tetapi saya tidak bisa berbohong bahwa masih terpukul setelah ditinggalkan istri tercinta karena saya dan Ainun adalah dua raga, satu jiwa,” katanya.
Buku terbitan PT THC Mandiri ini, menceritakan kisah cinta Habibie-Ainun. Mulai dari perjumpaan keduanya yang menjadi awal segalanya, keseharian dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hingga kejadian memilukan tatkala takdir Ilahi memisahkan keduanya. Selain itu, pembaca juga akan menemukn untaian doa dan puisi cinta yang pernah ditulis keduanya.
Rasanya tak berlebihan apabila Habibie mengatakan, saat dirinya menulis buku tersebut, tiap halamannya penuh dengan tetesan air mata. “Kehadiran Ainun telah menjadi api yang selalu membakar energi semangat dan jiwa saya dalam menjalani hidup. Sekaligus laksana air yang selalu menyiram dan meredakan gejolak jiwanya hingga kembali terang,” kata Habibie.
Sejak Ainun menghembuskan napas terakhir di rumah sakit Ludwig Maximilian University Muenchen Jerman, Habibie merasa Ainun masih berada di sisinya. Setiap keluar dari ruang kerjanya, dia merasa berada pada dimensi ruang dan waktu yang lain. Dimensi yang memberikan tanda bahwa Ainun belum terpisah ke alam barzah.
Wajah Ainun seperti melekat di setiap sudut matanya, hadir di manapun Habibie berada. Oleh karena itu, menurut Habibie, buku ini telah menutupi kekosongan jiwanya dari hari ke hari, bulan ke bulan, mengikuti perjalanan sang waktu.
“Dari perkenalan hingga keseharian mengarungi bahtera rumah tangga, hingga puisi cinta dan doa cinta Habibie dan Ainun. Saya yakin revolusi kehidupan itu telah diatur oleh Allah. Ainun selalu ada di hati,” kata Habibie.
Buku yang terdiri dari 37 bab, mengandung hikmah tentang kehidupan dari sang profesor. Gaya ceritanya yang sederhana, menjadikan para pembaca ingin terus mengetahui apa saja tingkah pola Habibie dan Ainun.
Layaknya sebuah novel, Habibie mampu menyajikan sebuah alur cerita unik dan menawan sehingga begitu lekat di mata para pembacanya. Seperti perjuangan Habibie muda saat mengungkapkan perasaan cintanya kepada Ainun, cerita di balik pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), kisah di balik layar pesawat N250 Gatotkaca, hingga suasana duka kepergian sang istri tercinta, serta beragam kisah lainnya yang juga menarik. (deni setiawan)

0 komentar:

Posting Komentar