Dari Pendurhaka ke Rumah Baca

Jumat, 11 Maret 2011

- Penulis Senior Nh Dini Turun Gunung

NURHAYATI Sri Hardini atau lebih dikenal dengan nama Nh Dini adalah salah satu perempuan pengarang Indonesia yang sangat produktif. Ia mulai menulis sejak tahun 1951, saat masih kelas II SMP. “Pendurhaka” adalah karyanya yang pertama dimuat di majalah Kisah dan mendapat sorotan dari HB Jassin.
Nh Dini pernah menjadi pramugari Garuda Indonesia Airways. Dia kemudian menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat Perancis, dan dikaruniai sepasang anak, Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang. Setelah lebih dari 20 tahun melanglang buana, di antaranya tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Perancis, pada tahun 1980, Dini pulang ke Kampung Sekayu, Semarang, pada 1985. Dini kemudian mendirikan taman bacaan yang dinamakan Pondok Baca Nh Dini. Kegiatan sosial tersebut berjalan lancar berkat bantuan dari para saudara dan rekan-rekannya. Selain mengelola Pondok Baca, Dini juga terus aktif menulis novel dan cerita pendek.
Namun ada beberapa peristiwa yang nyaris membuat Dini patah semangat. Peristiwa itu adalah bencana banjir dan tanah longsor yang memaksa wanita kelahiran Semarang, 29 Februari 1936 ini, tiga kali berpindah tempat tinggal. Dari Kampung Sekayu ke Griya Pandana Merdeka di Ngaliyan, lalu kembali ke Sekayu, kemudian ke Perumahan Beringin Indah di Ngaliyan juga.
Sekelumit kisah hidupnya, Dini tuliskan pula di dalam buku berjudul Pondok Baca Kembali ke Semarang yang diterbitkan oleh Grasindo. Buku tersebut didiskusikan di Toko Buku Gramedia Jalan Pemuda yang letaknya satu kompleks dengan Hotel Amaris di Jalan Pemuda Nomor 138, Semarang, Jumat (4/3).
Dalam diskusi yang dipandu oleh budayawan Semarang, Prie GS dan dihadiri sekitar 20 orang itu, Dini merasa senang karena para pembaca sastra, khususnya yang ada di Semarang, masih mengingat dan tidak meninggalkan dirinya. Di usianya yang 76 tahun, Dini tetap berupaya keras untuk datang memenuhi undangan diskusi buku tersebut.
“Sebelum datang, saya harus makan makanan ekstra untuk menjaga stamina karena makin tua itu, makin mahal harganya,” kata Dini, anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah itu.
Pada kesempatan itu, Dini juga bercerita tentang pengalamannya menulis. Dini mengaku giat menulis berkat dorongan keluarganya. Ketika duduk di bangku kelas tiga SD, Dini melihat kakaknya, Mariam Sutoyo, menyiapkan majalah dinding dan menulis sajak untuk sekolahnya, yakni SMA Taman Madya Semarang. Lalu ada pula saudaranya yang menulis artikel. Dari situlah, dia termotivasi untuk bisa seperti kakaknya.
“Selain itu, ketika menjadi penyiar radio, Ibu dan kakak saya selalu menanyakan serta memberikan semacam ulasan, pendapat dari apa yang tadi disiarkan. Hal itu yang memberi dorongan, motivasi kepada saya untuk selalu kreatif,” jelasnya.
Di usia lanjut ini, Dini mengakui, tidak dapat mencari kader sebagai penerus bakatnya sebagai penulis. Dia lebih cenderung berbagi pengalaman melalui surat-menyurat dengan para responden yang ingin bertanya-tanya soal dunia tulis-menulis.
Dia mengatakan, hal itu dilakukannya sebagai wujud syukur atas karunia Tuhan yang telah memberikan bakat menulis. Hingga saat ini hampir sekitar 80 responden telah dia balas. Namun sayang, dari puluhan orang itu, nama mereka tidak ada yang muncul sebagai penulis, entah yang di tingkat lokal maupun nasional. “Maka, kader itu tidak bisa dibikin. Tergantung individunya, mau atau tidak. Bisa atau tidak untuk jadi penulis,” terangnya. (deni setiawan)

0 komentar:

Posting Komentar